Minggu, 26 Juni 2011

Desakralisasi Jilbab


Apakah jilbab sebegitu simboliknya menandai suatu indikator kesalihan atau kesucian sehingga kain penutup kepala itu menjadi berjarak dan asing dengan sendirinya dari perempuan Islam — makhluk profan itu — yang mengenakannya?

Perbincangan soal perkara identitas dan simbolitas jilbab menyeruak pada saat kami — dua perempuan berjilbab — bertemu suatu siang di minggu kedua November. Sebagai catatan, kami memang tidak membahasnya dalam konteks dalil agama,  dengan asumsi saya bahwa berbagai interpretasi soal dalil berjilbab dalam Islam (semisal ayat An Nuur itu sendiri) harus dihargai dan diakomodir, termasuk mereka yang menganggap bahwa jilbab itu tidak diperintahkan secara eksplisit dalam ayat tersebut, atau mereka yang beranggapan bahwa jilbab itu memang wajib, atau mereka yang beranggapan bahwa cadar dan jilbab itu wajib. Saya juga tidak membawa debat ulama klasik versus ulama kontemporer, kajian klasik versus kajian kontemporer, dstnya. Varian interpretasi dari ini memang tidak menjadi bagian diskusi kami, mungkin juga dikarenakan waktu yang terbatas. Tapi beginilah kira-kira yang kami bahas…

Saya bertandang ke FISIP UI dan menghabiskan makan siang dengan seorang teman baik saya, Diah.  Selama kurang lebih satu jam kami berdiskusi. Kami menyoal soal jilbab itu sendiri. Pertanyaan yang muncul kurang lebih adalah:
(1). Bila perempuan Muslim yang mengenakan jilbab merasa bahwa dia tidak cukup “soleh” untuk mengenakannya, maka apakah ia perlu melepas jilbabnya?
(2) Bagaimana merespon dua anggapan paradoksal antara jilbab sebagai urusan pribadi dengan jilbab sebagai bagian dari ekspekstasi dan persepsi masyarakat?

Kira-kira seperti ini komentar dan argumen saya.

Bila perempuan Muslim yang mengenakan jilbab merasa bahwa dia tidak cukup “soleh” untuk mengenakannya, maka apakah ia perlu melepas jilbabnya?

Pertama ijinkan saya mengatakan bahwa komentar saya terhadap pertanyaan ini tidak menekankan pada sebab atau faktor kenapa (1) perempuan yang berjilbab/tdk berjilbab  karena keputusan personal, (2) perempuan yang berjilbab/ tdk berjilbab  karena merasa mengikuti anjuran pihak lain, (3) perempuan yang berjilbab/tdk berjilbab karena diwajibkan oleh institusi tempat dia ‘bernaung’ (pemerintah, kantor, sekolah, dsbnya).

Kedua, saya juga tidak bermaksud untuk  mengesampingkan segala potensi dan aspek kebaikan yang ada secara instrinsik dalam penggunaan jilbab itu sendiri.
Yang hendak saya sampaikan, dan ini memang argumentatif, adalah bahwa sakralisasi jilbab justru menyebabkan — dalam hal-hal tertentu — jarak dan keterasingan antara substansi jilbab dengan si pemakainya. Ini juga secara mendasar dikarenakan tidak ada manusia yang sakral, dan karenanya perlunya menjadikan jilbab itu sebagai sesuatu yang tidak sakral.

Menurut saya, seorang perempuan yang sudah berjilbab tidak perlu melepas jilbabnya hanya karena, danhanya karena, dia merasa tidak “cukup” memenuhi “indikator” kesalehan yang dijejalkan padanya oleh persepsi kelompok atau masyarakat tertentu. Kecuali atas pertimbangan-pertimbangan lain yang sepenuhnya personal, perempuan berjilbab semestinya tidak merasa dihakimi oleh pihak lain sehingga mendorongnya untuk melepaskan jilbab.

Hal ini berkorespondensi dan sejalan dengan ketidaksemestian  pihak atau institusi lain menghakimi dan memaksa perempuan untuk mengenakan jilbab.

Contohnya begini, ada cukup banyak komentar yang  beredar kurang lebih sama tentang “indikator imajiner” kesalehan perempuan berjilbab ini. Misalnya komentar seperti:
“Ih masak pake jilbab kelakuan masih kayak [...]“
“Kok ada sih perempuan berjilbab yang ngebela orang-orang gay?”
“Ih berjilbab iya, pacaran iya…”
“Kalo mau pake jilbab, benerin dulu tuh ‘akhlak’ elo!”
“Kalo tingkah elo kayak gitu, lebih baek elo buka jilbab loe deh, daripada ngerusak reputasi Islam…”
“Yang penting hati saya berjilbab…” [omongan basi gaya artis]
dstnya.

Persoalannya adalah, dengan membuat indikator imajiner tentang ‘standar kepantasan’ perempuan untuk berjilbab, maka secara tidak langsung kita telah mensakralkan jilbab. Yang saya maksud dengan mensakralkan jilbab adalah upaya untuk membuat jilbab seolah simbol yang menandai kesalihan perempuan sebagai sesuatu yang tidak bisa digugat. Jilbab, sebagai sesuatu yang lekat dengan Islam, lebih baik dimaknai sebagai bagian dari identitas pemakainya, dan bukan seperangkat kostum untuk menandai sesuatu yang sakral   — surgawi, keramat, suci — sehingga berkonsekuensi pada ‘berjarak’nya jilbab dengan si pemakainya (yang tentunya tidak suci, termasuk mereka yang memaksa perempuan memakai jilbab atas nama “menjaga kesucian perempuan” — apa itu ‘kesucian’ perempuan? apa kesucian itu artinya tubuh mereka dijaga hanya untuk di’konsumsi’ si pria?).

Ibaratnya, jilbab dibuat seolah sebuah atribut atau jabatan yang bisa dibongkar pasang sesuai dengan indikator. Padahal, sejatinya jilbab itu menyatu dengan si pemakai — bukan semata dalam artian keputusan untuk memakainya harus dari si perempuan itu sendiri, tapi juga dalam artian kebebasan si perempuan untuk memutuskan berjilbab atau tidak.

Dengan menyatukan si jilbab kepada identitas si perempuan, menurut saya kita telah memaknai jilbab atau hijab ke dalam substansi sesungguhnya yaitu sebagai “pembatas”. “Pembatas” ini adalah sesuatu yang inheren dalam spiritualitas si perempuan, dan bukan sebagai “simbol kesucian” atau atribut yang dibebankan kepada perempuan sehingga dia seolah-olah memikul suatu tanggung jawab suci untuk mempertahankan dirinya ke dalam konformitas tertentu yang belum tentu sesuai dengan  karakternya.

Jilbab harus dibebaskan dari segala tanggung jawab simbolik sehingga perempuan akan tetap nyaman mengenakannya ataupun tidak mengenakannya. Sehingga perempuan berjilbab bisa mengatakan, “Ya saya berjilbab karena saya ingin, dan saya adalah diri saya. Saya tidak membawa pesan kesucian tertentu atau kesalehan yang diukur oleh suatu konformitas.” Perempuan berjilbab juga bisa mengatakan, “Saya akan tetap berjilbab meski oranglain mengatakan saya tidak soleh. Kenapa? karena jilbab bukan atribut yang dipinjamkan oleh pihak lain sehingga pihak lain berhak menilai soal baik atau tidaknya saya memakai jilbab.”
Perempuan tidak berjilbab juga bisa mengatakan, “Saya memilih tidak berjilbab karena saya merasa tubuh saya adalah milik saya dan bukan pinjaman dari pihak lain.”

Dengan begini, jilbab dan perempuan terhindar dari keterasingan pemaknaan. Tidak saja membumikan jilbab, tapi juga mempersonalkan jilbab.

Bagaimana merespon dua anggapan paradoksal antara jilbab sebagai urusan pribadi dengan jilbab sebagai bagian dari ekspekstasi dan persepsi masyarakat?

Menurut saya justru paradoks adalah bagian unik dari Islam (dan mungkin karakteristik minor dari ketiga agama samawi — Islam, Kristen, Yahudi), dan yang penting dari semua adalah ketiadaan kontradiksi internal atau oxymoron dalam menyoal isu anjuran keagamaan. Persoalan jilbab di ranah sosial ini kadang termasuk paradoks dalam artian ia bisa jadi benar dari kedua belah sisi namun terkesan berseberangan.

Misalnya, pertanyaan derivatif yang turut menyeruak dalam diskusi saya dan Diah adalah, “Tapi apa karena jilbab itu urusan personal maka kita harus mengabaikan persepsi masyarakat soal jilbab itu sebagai suatu anjuran yang baik atau pencitraan yang baik?”

Pertama, yang perlu dibongkar adalah term ‘baik’ itu sendiri menurut masyarakat. ‘Baik’ itu definisi yang luas, berlapis, dan bisa jadi relatif dalam tataran permukaan. Anjuran yang baik atas nama agama bisa menjadi destruktif apabila pelaksanaan kolektifnya menampilkan kerusakan, gangguan terhadap hak asasi manusia, dan melukai nilai universal keagamaan itu sendiri. Karena itu, bila kita menganjurkan sesuatu yang baik secara kolektif, bisakah kita menyampaikannya dengan penuh respek terhadap tiap-tiap individu?

Kedua, seringkali kita dengar bahwa perempuan mengenakan jilbab sebagai identitas keislaman. Identitas digunakan sebagai pembelaan betapa mendasarnya jilbab itu, tapi yang sering luput adalah identitas itu bukan sesuatu yang dipaksakan secara eksternal. Yang namanya identitas berarti bagian yang sangat personal dari seseorang untuk mengartikulasi keberadaan dirinya di tengah lingkungan sosial. Karenanya, tidak terhindarkan bagi tiap orang untuk memiliki multiple identities.

Artinya, bila seorang perempuan dan komunitasnya menganggap bahwa jilbab adalah bagian dari identitas perempuan, keberadaan dan ketiadaan jilbab itu sendiri tidak bisa di’konstruksi’ dari pihak lain.

Sama seperti seorang pria yang merasa bahwa dia berjiwa perempuan — maka dia dilabeli ‘banci’. Bagaimana pihak luar memaksa dia untuk menjadikan dia beridentitas pria ‘macho’ bila secara inheren dia merasa identitasnya feminin?

Menurut saya persepsi publik itu tidak terhindar dan itu adalah karakteristik dari masyarakat. Dan antara persepsi di ruang publik dengan pilihan individual ada batas yang cukup definitif meski batas itu bisa jadi tidak ajeg pada posisinya.

Yang penting pada akhirnya menurut saya adalah terletak pada ranah makna jilbab itu sendiri. Jilbab menjadi personal apabila itu mengenai keputusan untuk memakainya atau tidak, dan jilbab menjadi publik apabila itu mengenai persoalan pencitraan dan ekspektasi yang kontekstual dengan kondisi lingkungan sosial. Apabila ada yang menyinggung urusan jilbab ke seorang perempuan, misalnya, saya pikir dia bisa memilah sejauh mana urusan itu lebih berat titik pertimbangannya ke hak personal dia atau bagian dari diskursus publik yang bisa ditolerir.

Dengan demikian, desakralisasi jilbab diperlukan untuk menghindarkan tindak kekerasan atau diskriminasi patriarkis yang mengatasnamakan ‘kesucian’.

Bukankah tidak ada yang suci di tengah carut marut dunia yang profan ini? saya justru beranggapan bahwa jilbab itu sendiri bukti dari sifat profan dunia dan manusia. Dan karena dia profan, alangkah baiknya bila perempuan yang profan diberi kebebasan untuk meresapinya menjadi bagian identitas diri (ataupun tidak), dan para pria yang profan itu berhenti berbicara soal jilbab dan tubuh perempuan seolah-olah resiprokal etre-en-soi.

0 komentar:

Posting Komentar